-->
FkaTtGoWaoCAhuH4FEsIuU7rzVbSD7GG1WVSzEgy
Bookmark

“Dina, kamu maunya apa?”

By Sydney _______________________

Hembusan angin menusuk, udara membisu menjadi semakin dingin saat aku melaju semakin atas, berkelok melewati jalanan menanjak dengan motor gigi yang baru saja diperbaiki ayah tadi malam. Dinginnya angin menembus jaket tebal hingga menyusup ke kulitku yang tipis. Tidak ada bau asap lagi, tidak ada kebisingan semut jepang lagi, hanya pepohonan, pagar, jurang dan suara letupan motor gigiku yang mematahkan keheningan.

Sedikit demi sedikit kini matahari lahir ke permukaan bumi. Satu, dua kendaraan lain mulai muncul, mendahului ku yang sangat perlahan mengendarai motor. Aku tidak menyalip balik, aku memang sedang terburu-buru mengejar waktu, tapi pikiranku lebih terburu-buru dari pada waktu di bumi ini. Hingga aku bingung mana yang harus aku kejar duluan, waktu atau pikiran ku yang sedang kabur.

Saat tubuhku terhentak karena polisi tidur, suara dering handphone membangunkan dunia yang sedang berputar di pikiranku. Tanganku dengan sendirinya mengambil handphone di saku jaket. Aku membacanya, telpon dari Harum. Dia lagi, dia pasti khawatir.

"Gimana? Jadi ke Jakarta?"
Satu kalimat dari Harum, pendek tapi berat seberat ratusan kilo pikiran yang tak kunjung selesai di kepalaku.

“Lagi dipikir-pikir dulu.” “Kok masih dipikirin? Cepetan jawab, itu atasan loh, jangan buat masalah.” Nada Harum memaksa, tapi ia tidak tahu atau pura-pura tidak ingin tahu.

“Aku udah jawab, aku ada di Jogja.”

Aku membayangkan wajah Harum yang sekarang mungkin tengah duduk di Jakarta, di kamar sewa kecilnya yang sempit tapi cukup, dan suara itu terdengar lagi dari layar: “Jadi gak ke Jakarta nih?” Bukan itu maksudku. Tapi bagaimana menjelaskan sesuatu pada orang yang tak ingin mendengarkan? Kemudian satu hela nafas dan aku menjawab tanpa jeda seperti orang yang tertekan. “Bukan itu, aku kan baru pulang kemarin ke Jogja masa balik lagi. Kemarin aja udah habisin ratusan ribu. Lagian di Jakarta aku gada kosan.” 

Sekarang aku bisa dengar hembusan nafas Harum dari ujung sana, seperti mencoba menahan sesuatu. Atau mungkin kecewa? “Terus ibunya jawab gimana kalau kamu gada kosan?” Ia bertanya, kini sedikit lebih pelan. “Beliau bilang nginap di hotel aja.” 

Tanpa jeda dan empati Harum menjawab dengan semangat, “Yaudah ayok kita berdua nginap di hotel.” Itu membuat ku tercekat, ia terlalu bersemangat. Aku tahu ia mencoba membantu tapi keadaanya lain. “Ayahku gak izinin.” “Bilang aja penting.” 

Aku mengatupkan rahang. “Cuma masukin daftar hadir karyawan doang. Itu penting?”  

“Aku tau bisa sama yang lain dan bisa online juga, tapi Bu April percayanya sama kita. Itu tanda bagus loh, siapa tau dari situ kita bisa naik jabatan.”

Aku memejamkan mata. Kugenggam erat pegangan motor hingga buku-buku jariku memutih, angin dingin dan helm yang menyorot ke depan terasa seperti sedang diinterogasi.

“Kamu sendiri aja gabisa?” Aku menghela nafas, semoga Harum bisa memahami. 

“Aku gak ngerti Excel begituan, Din. Ayolah, kita nginap di hotel aja. Naik kereta bisa sehari sampai kamu ke sini.” Kalimat itu, sedikit tapi lagi-lagi berhasil membuat hatiku merasa bersalah. “Masalahnya Jogja, Rum.”

Seolah Harum tak mengerti jarak, tak mengerti situasi, dan tak mengerti batas tubuh dan hati seseorang yang sedang lelah dan terpojok, ia bertanya. “Yaudah, gajadi?” Kalimatnya seperti pisau yang diayunkan sembarangan, mengiris pelan. Aku menarik napas dalam-dalam. Kata-kata berikutnya terasa getir di lidahku saat aku membalas, “Aku takut dimarahi Bu April. Beliau bukan minta, beliau nyuruh.” 

“Yaudah ayok. Aku deh yang bayar hotelnya.” Tawaran yang Harum berikan sangat manis tapi ini bukan tentang uang. Bukan sekedar soal kamar hotel. Ini tentang menjadi perempuan yang diminta bergerak tanpa pegangan. “Ayahku gak izinin, Rum. Katanya aku perempuan, kalau aku tetep maksa ke Jakarta ayahku mau antar pakai motor.” 

“Serius? Yaudah kesini sama ayahmu aja.”

Bibirku bergetar. Aku tahu ia mencoba membantu, tapi lagi-lagi ini bukan soal uang. Ini tentang batas yang tidak bisa kulompati begitu saja. Dan kini aku nyaris tertawa pahit. “Tapi ayahku udah tua, Rum. Masa anterin anaknya ke Jakarta cuma sehari dan itupun buat masukin daftar hadir karyawan aja, yang seharusnya dikerjain sama bagian absen.” 

“Yaudah bilang baik-baik aja sama Bu April kalau kamu gabisa.” 

“Udah. Aku udah bilang aku udah di Jogja, aku gada tempat tinggal di Jakarta, ayahku gak izinin. Tapi Bu April langsung telpon tadi sore, katanya staf-nya cuti melahirkan, jadi beliau mau kita yang urus.”

“Aku juga ditelpon katanya kamu mau. Makannya aku juga mau.” Aku terdiam. Lalu dengan pelan, kuucapkan apa yang sebenarnya: “Loh, aku belum bilang kalau aku mau lo.” 

“Tapi beliau bilang kamu besok mau ke Jakarta naik bis.” 

“Aku belum bilang iya sama sekali, lagian naik bis bisa seharian, Rum. Bercanda apa gimana ini.”

“Jadinya gimana? Yaudah batalin aja.”

“Bu April gabisa ditolak, Rum.”

“Yaudah kesini.” Aku bisa membayangkan Harum yang memutar matanya, mungkin merasa kesal dengan kebimbangan ku atau mungkin karena harus berjuang sendirian. Tapi Aku juga sendirian. “Ayah aku maksa ikut anterin. Aku gamau bawa-bawa ayahku ke Jakarta, nanti ayahku sakit.” “Ya terus mau gimana?” Aku terdiam, dengan sekuat tenaga kutahan suara yang mulai pecah dan berusaha bertanya, “Kamu sendirian aja gabisa?”

“Gak. Kalo kamu gak kesini aku gak akan datang ke kantor. Kesini aja udah.”

“Gimana yaa...” Suara putus asa itu akhirnya keluar sangat kecil, hampir seperti bisikan dari mulutku.

“Kamu maunya gimana?” Pertanyaan itu.. terdengar sederhana. Tapi saat ini rasanya mustahil kujawab. 

Aku hanya menghela nafas yang mulai bergetar. Air mataku mulai menggantung, dan suaraku nyaris tak terdengar: “Aku maunya gimana? Aku gatau..” Di tengah semua ini, aku hanya bisa berbisik pada diriku sendiri. “Gimana kalau… aku mau hari ini gak pernah terjadi. Apa bisa dikabulin?”

Tak ada jawaban dari sana. Harum membalas dengan hening seperti malam yang turun perlahan menyelimuti tubuh ini. Andai saja pertanyaan itu memang ditanyakan, aku ingin diberikan pilihan bukan dituntut. Aku ingin memilih tanpa dihakimi, tanpa disalahkan. Tapi lihat sekarang aku mengendarai motor sendirian, melamun di tengah jalan antara Jogja dan Jakarta. Aku tidak tau ini pilihanku atau terpaksa inilah akhirnya yang telah ditentukan. Bu April bisa duduk lega karena sebentar lagi aku akan datang. Harum akan ditemani, mungkin sekarang ia sedang mandi, bersiap naik ojek ke kantor tanpa beban seberat yang kupikul. Orangtua ku? Mereka marah, akhirnya aku disuruh pergi sendiri, tidak dengan bis, kereta, pesawat atau kapal, tapi dengan motor gigi yang ayahku betulkan kemarin malam sampai ia begadang. Mereka marah, kecewa, aku melihat mata mereka tapi aku tidak bisa membedakan antara kecewa dan rasa khawatir di mata mereka.

“Ayok ayah antar.”

Suara itu terdengar mantap, seperti tak ingin dibantah. Aku menoleh pada ayahku yang sedang duduk di pinggir ranjang, menatapku dengan mata teduh tapi keras kepala. Mata seorang lelaki yang sudah terlalu lama hidup untuk tahu bahwa jalan pintas seringkali bukan yang terbaik, dan bahwa anak perempuan selalu pantas dijaga.

“Gausah ayah, cape nanti.” kataku pelan. 

“Gapapa, nanti kita bisa berhenti dulu di masjid-masjid.” jawabnya, tetap tenang dan tetap berusaha meyakinkan.

Aku mencoba tetap lembut. “Engga ayah… aku bisa sendiri. Nanti di sana ada Harum kok. Kalau ayah ke sana nanti cape… dan ayah di Jakarta mau istirahat dimana? Pasti kita harus cari tempat dulu.” Ayah menghela nafas seperti menahan kesal, lalu berkata lagi, kali ini lebih kuat, seperti sedang menegakkan keputusan. “Jangan udah ayah antar aja.” Lalu dari luar kamar terdengar suara Ibu. “Iya udah, Ayah kamu yang antar. Nanti disana nginap di penginapan. Lebih aman.”

Aku merasa kepalaku semakin berat. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi lantai ubin yang dingin, seakan bisa bicara dan memberiku jawaban. Kasih sayang ini, kasih sayang yang terlalu dalam. Membuat ku merasa bersalah, seakan-akan anak perempuan ini adalah beban. “Jangan Ayah,” suaraku mulai bergetar. “Ayah percaya sama aku. Aku bisa jaga diri, ada Harum ayah. Nanti aku naik kereta.”

Ayah masih diam, lalu kembali bersuara, kali ini singkat. “Sama Ayah aja.” 

Aku menutup mata, mengatur napas yang mulai berat. “Nanti ayah cape… terus sakit…”

Lalu tiba-tiba suara Ayah berubah. Nada yang tadinya sabar kini menjadi tinggi, tegang, seperti terbakar oleh amarah dan kecewa yang tak bisa ia pendam lagi. “Kamu maunya apa sih? Yaudah sana pergi ke Jakarta sendirian! Mau dijagain gak mau! Yaudah sana pergi sendiri naik motor!” Aku tercekat. Tanganku gemetar. Lidahku kelu. “Engga. Yaudah batalin aja deh kalau kayak gini… Bilang aja ada acara keluarga,” kataku, lirih, seperti anak kecil yang tak lagi tahu harus menolak atau pasrah.

Tapi Ayah malah balas dengan ketegasan yang berbeda. Lebih dingin dan lebih sakit. “Jangan. Sana ke Jakarta aja. Biar atasan kamu liat dan kapok sendiri. Anak baru datang ke Jogja disuruh ke sana lagi. Gak apa-apa, sana ke Jakarta. Kita lihat gimana reaksinya. Minta maaf gak tuh si Bu April. Sekarang kita benerin motornya dulu.”

Dan di situlah, dunia terasa runtuh perlahan, bukan karena aku harus pergi. Tapi karena aku merasa tak punya siapapun untuk bertanya padaku, untuk benar-benar melihatku. Apa jalan ini salah? Aku harus bagaimana? Aku bingung, aku merasa sendiri, angin di sini semakin dingin tapi sesak, aku merasa keringat ku lebih dingin daripada angin di puncak ini, suara jantung ku lebih kencang dari pada letupan motor. 

Aku menggigit bibir. Aku hanya ingin seseorang bertanya.
Satu saja… cukup satu orang. Satu saja yang menanyakan itu padaku.
Bukan menyuruh, bukan menekan, tapi bertanya:
“Dina, kamu sendiri maunya apa?”
Mungkin jika itu benar-benar ditanyakan, aku tidak akan sekacau ini. Seseorang menanyakan pilihan, menanyakan perasaanku. Maka akan ku jawab, aku janji, akan kucari jawabannya. 

Dan saat motor ini terus melaju, aku masih mencari jawabannya, sendirian, di antara suara angin yang tak pernah bertanya apa-apa, ia setia bersamaku, diam. Dan ternyata untuk kali ini mungkin angin lebih baik daripada manusia. Karena angin tidak menyela, tidak memaksa, tidak marah ketika aku ragu.
Angin tidak menatapku dengan kecewa, seperti Ayah.
Tidak menuntutku harus ke Jakarta, seperti Harum.
Tidak menyuruhku naik motor, atau kereta, atau pesawat.
Tidak menyuruhku cepat, tidak menyuruhku kuat.

Angin hanya menyentuh pelan seperti ingin bilang: “Pelan saja, tak perlu buru-buru.” 

Aku memejamkan mata sedetik, satu detik saja lalu aku sadar percakapan tadi, dering handphone, suara Harum, tekanan, pertanyaan tak pernah terjadi. Itu semua hanya percakapan dalam kepalaku. Semuanya hanya aku yang melamun di atas motor ini. Mengarang ulang kejadian yang tidak pernah sempurna. Yang nyata hanyalah suara motorku yang meraung kecil, angin yang makin tajam, jalanan menurun yang mulai basah oleh embun pagi.

Lalu tiba-tiba datang sinar disaut oleh bunyi klakson, lalu satu guncangan keras menghentak keheningan. Tubuhku terlempar ke udara, jatuh entah ke mana. Motor gigiku menggelinding di aspal, menjauh dariku. Langit mendadak kabur, dan dunia jadi lambat. Aku tidak tahu apakah sekarang aku masih melamun atau sudah terbangun, yang aku tahu, angin kini tak sekadar menyentuh Ia menggendongku, menghapus sisa air mataku yang belum sempat jatuh.

Seketika aku bertanya pada diriku sendiri, dalam kesunyian yang mendalam aku bertanya:
"Jika aku menjawabnya sekarang... apakah masih ada yang akan mendengarkan?”

Tapi tunggu, bahkan sampai hari ini tidak ada satupun yang bertanya, bagaimana aku bisa menjawab.

— selesai —

0

Post a Comment