-->
FkaTtGoWaoCAhuH4FEsIuU7rzVbSD7GG1WVSzEgy
Bookmark

Di Balik Pintu Biru Muda


By Sydney
_________________________

Pintu rumah terbuka, diikuti suara klik saklar. Lampu-lampu pun mulai menyala satu per satu. Dan sekarang misi mereka kembali dimulai. Amir hanya tahu tiga hal: bermain, belajar, dan membantu orang tuanya mencuci piring. Tapi malam ini, ia lari menuju markas, benteng kecil yang dibuatkan Bapak. Tertutup, sempit, dan aman katanya. Meski tubuh Amir sudah terbalut dengan selimut biru bergambar luar angkasa, dinginnya lantai dan tembok kamar mandi tetap menembus sampai ke tulang. Sampah berserakan di mana-mana, Ibu selalu menyuruh Amir untuk bersih-bersih tapi mana mungkin Amir memiliki waktu untuk melakukannya saat pertempuran para pengungsi dengan raksasa baru saja kembali dimulai. 

Kini para pengungsi sudah ditangani dan dirawat. Beberapa dari mereka tak berhasil diselamatkan, tubuh-tubuh mereka tergeletak, terpotong-potong, berserakan di lantai yang basah dan licin. Tapi mereka tetap bersama, Amir takkan pernah meninggalkan teman-temannya. Amir pun mengeluarkan peringatan awal saat sampai di markas. Semua pengungsi diam. Bahkan tanpa ia suruh para pengungsi sudah lebih dulu membisu, seperti sudah tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, suara bisa jadi ancaman. Tapi untuk Amir, kamar mandi ini rumahnya, semua pengungsi menjaganya dengan baik saat ia sedih dan takut karena raksasa. Ia aman di sini bersama mainan pemberian orangtuanya.

Para raksasa datang setiap malam dan pergi pagi-pagi sekali, mereka akan mulai mencari mangsa dan akan melempar apapun yang ada di hadapannya. Suara teriakan mereka selalu menggelegar, mereka menghancurkan dan marah. Kini Amir berharap dapat melindungi para pengungsi sekali lagi, Kadang, pada setiap malam akan datang ramuan dan mantra. Semua itu baru, cantik dan wangi, ramuan itu diracik oleh Ibu untuk membantu Amir dan para pengungsi lain melawan raksasa. Mereka kini membuat benteng pertahanan di balik pintu, mereka rasa pertahanan itu kokoh dan kuat untuk menahan raksasa malam ini. 

Salah satu pengungsi, boneka beruang yang paling tua, duduk bersandar pada ember kosong. Namanya Kapten Toni. Kakinya hanya satu, matanya pun hanya tertinggal satu, dan bulunya mengeras karena lem, sabun dan alkohol. Tapi suaranya tetap tegas dan berwibawa. 

“Amir, kamu tidak apa-apa??” tanya Kapten Toni pelan. “Apa bentengnya sudah cukup kuat untuk malam ini?”

Amir mengangguk walaupun tubuhnya mulai kaku bahkan ia juga tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Amir hanya membenarkan lipatan handuk yang menjadi dinding utama pertahanan mereka. “Harusnya udah kuat. Tapi..aku cuma takut, gimana kalau mereka masuk kesini ya?” Ia berbisik dengan sangat pelan. 

Kapten Toni menghela napas, ia berpikir sejenak melihat ke arah pintu besar berwarna biru muda. “Maka bersama kita akan lawan mereka. Dan kamu gak perlu takut, nak, kita gak akan kemana-mana, tutup saja matamu pelan-pelan dan kita akan disini sampai pagi tiba.”

Amir terdiam, ia terus memegangi botol sabun kosong sebagai senjata. Kapten benar, semua mainan adalah keluarganya. Ia merasa aman di tempat dingin ini. Tapi tiba-tiba dari pojok lain, Cika si boneka kelinci tergeletak, telinganya robek. Ia menggenggam garpu plastik seperti pedang. 

“Tapi kalau mereka lempar sendal lagi, aku gak mau jadi tameng, ya!” gerutunya, setengah gemetar. “Sakit tau!”

Amir menoleh, matanya lembut. Ia mendekat dan membalut Cika dengan tisu gulung, seperti perban perang. “Amir bakal usahain, Cika. Malam ini raksasa itu gak akan datang, mereka gak akan sakitin kita. Mereka bahkan gak akan bisa masuk.”

Cika diam. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menyandarkan tubuhnya pada kotak sabun bekas. Lalu Kiki si mobil mainan kuning bergerak maju. 

“Tapi gimana kalau mereka bawa sesuatu yang baru? Bukan sendal, sabuk, sapu, atau tongkat? Gimana kalau sekarang lebih berbahaya?” Kiki menatap semua orang dengan tatapan ketakutan.

“Ih aku takut..” Hana si boneka barbie memeluk temannya, Ara. Ara memeluk Hana kembali, memberikan rasa aman kepada Hana. 

Hana dan Ara adalah sahabat. Hana dulunya boneka Barbie cantik, sampai rambutnya digunting oleh sepupu Amir. Sedangkan Ara adalah seekor bebek kecil yang selalu menjaganya.

“Semuanya bakal baik-baik aja kok Hana.” Ujar Ara kepada Hana. 

Kapten Toni bergerak maju dengan embernya untuk mengecek pintu. “Kalau mereka bawa sesuatu yang lebih berbahaya, maka aku akan maju melawan mereka. Biarkan aku yang berkorban karena kita akan melindungi Amir.” 

Semuanya terdiam, tidak ada yang berbicara. Sudah banyak boneka yang menyerahkan hidupnya di pertarungan ini. Bahkan mungkin ini bukan hanya pertarungan biasa untuk bertahan hidup tetapi mencoba untuk mempertahankan. Kakek Jojo, jam weker telah mati terlempar saat di pertarungan dan Lulu, boneka bola sepak tercabik-cabik dengan gunting, semuanya untuk menyelamatkan Amir. 

Lalu datang dari sebelah kanan Kapten Toni, Ibu Poppy berjalan ke arah Amir. Ia adalah gantungan kunci berbentuk bunga mawar. Amir meletakkan tangannya ke lantai dan Ibu Poppy perlahan naik ke telapak tangan Amir, Amir lalu mengangkat Ibu Poppy setinggi wajahnya sendiri. 

Ibu Poppy mendekat dan mengusap pipi Amir yang membiru dengan tangkai daunnya. 

“Tidak apa-apa untuk takut, Amir,” bisik Ibu Poppy. Suaranya lembut seperti kelopak yang jatuh ke air. “Tapi tidak ada yang berhak menyakitimu. Bahkan raksasa sekalipun.”

Amir menggenggam Ibu Poppy erat-erat dengan tangannya yang dingin. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya. Pahlawan tidak menangis sebelum pertempuran dimulai. “Amir bakal lindungin kalian semua!” kata Amir. “Amir janji. Amir anak yang pemberani. Amir pinter.”

“Kamu anak pemberani, Amir. Ingat saat raksasa itu memukul dan mencakar mu? Kau tidak menangis. Kau bukan hanya pemberani, kau juga anak yang kuat.” Ibu Poppy tersenyum, Amir lalu memeluk Ibu Poppy ke pipi birunya.

“Makasih, Ibu Poppy..” Amir berbisik. 

Tapi tiba-tiba terdengar suara teriakan, tubuh Amir bergetar saat ia melihat ke pintu. Lalu suara bom terdengar dari arah dapur. PRANG! Kiki mengecek pintu dengan hati-hati lalu bergegas kembali ke markas saat ia menemukan jawaban.

“Raksasanya udah memulai pertarungan di dapur! Mereka tadi melempar bomnya berkali-kali. Mungkin sekarang kita harus ganti strategi, gimana?” Kiki tersedak, ia takut dijadikan sasaran.

Amir menarik nafas dalam. Ia tahu semua ini bukan latihan. Ini bukan permainan. Ini pertempuran sungguhan. Kapten Toni mengetuk pelan embernya, ia membunyikan sebuah sinyal rahasia.

“Ganti strategi.. Baik semua pasukan, siaga penuh. Pertahanan jangan sampai jebol. Siapkan rencana mundur kalau mereka masuk lewat ventilasi.”

Cika merapatkan genggaman pada garpu plastiknya. “Amir... kalau mereka sampai ke sini, kamu duluan yang harus kabur, ya.”

“Enggak, Cika!” Amir menggeleng keras. “Amir gak akan tinggalin kalian. Amir anak laki-laki, Amir berani kaya bapak. Amir bisa jaga kalian. Kalian gak perlu takut.”

Dari luar, suara langkah kaki menghentak. Lalu, PRANG! satu lagi, lebih keras. Amir bisa melihat pergelangan kaki para raksasa di balik bawah pintu, berjalan ke sana kemari. Mereka marah, mereka meluapkan kemarahannya. Mereka mencaci dan memaki. Mencari keberadaan Amir.

“Bangsat!”
“Lo yang bangsat! Gua kerja siang malem! Pulang-pulang malah kena marah juga!”
“Gua gak akan gini kalo Lo gak selingkuh!”
“Dan gua gak bakal begini kalo Lo bisa ngurus anak. Mana Amir?!”
“Ya mana gua tau. Amir!!”
“Sialan!”

Hana menggigil. Ara memeluknya lebih erat. Botol sabun pertahanan bergeser sedikit. Amir memperbaikinya dengan tangan gemetar dan dingin. Ibu Poppy masih di genggamannya, lembut, diam, sehangat ingatan tentang suara yang dulu pernah menyanyikan nina bobo. Kiki, meski ban belakangnya longgar, bergerak maju ke depan Amir.

“Raksasa itu mencari kita. Kalau mereka pakai sabuk lagi... aku bakal tabrak duluan. Biar kalian punya waktu buat kabur.”

“Kiki! Amir udah bilang Amir bisa bantu. Jangan kabur, jangan jadi bajingan!” Amir bicara setengah membentak.

“Amir. Kamu jangan bicara seperti itu.” Kapten Toni menunduk. “Kiki sudah sangat berani karena semua yang gugur malam ini akan terkenang. Kita harus bertahan sama-sama.”

Amir menghela nafas berat lalu menarik selimut biru luar angkasa yang sudah apek dan lembab ke tubuhnya, ia tidak peduli, semua boneka merapat di sekelilingnya tidak mencium bau apapun dari selimut. Benteng mereka pun mulai bergetar. Tapi tak ada yang bergerak. Tak ada yang mundur.

“Amir janji. Amir bakal jaga kalian semua.” Bisik Amir saat memeluk dirinya sendiri dengan selimut apek itu.

“Amir anak yang kuat. Amir anak yang baik. Amir anak yang selalu disayang…”

Kalimat itu diulangnya perlahan, seperti mantra. Di luar sana, dunia terus melemparkan bom dan teriakan. Tapi di dalam sini, di dalam markas mereka tetap bertahan. 

Tapi bom tiba-tiba dilemparkan lagi, dan kali ini persis berada di balik pintu, lalu disusul dengan tangisan pelan seorang wanita, merintih kecil di balik pintu. Amir mengangkat kepalanya, mata kecilnya menatap pintu yang berguncang. Suara tangisan perempuan dan pria terdengar pecah dari balik sana, teredam dinding tipis kamar mandi. Ia mengenali suara itu. Suara Ibu dan Bapak. Lalu suara kedua raksasa membentak lagi, lalu bom dilemparkan sekali lagi. Kali ini tidak pecah, kali ini lebih besar. Tangisan meningkat.

“Ibu? Ibu.. Bapak…” Amir mendengarkan suara sekali lagi. “Ibu sama Bapak ada di luar!” 

Amir bangkit setengah tubuhnya, ingin membuka pintu. Tapi belum sempat ia melangkah, Ara langsung menahan lengannya.. Suara tangisan semakin jelas, seperti pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan. 

“Amir, jangan! Itu bahaya!” Ara menggelengkan kepalanya, memohon kepada Amir untuk tidak bergerak sedikitpun.

“Tapi, Ibu sama Bapak… mereka ada di luar. Raksasanya bisa makan mereka!” Amir berbalik, wajahnya panik. Suara-suara dari luar terus saling membentur. Amir berdiri diam di tengah markasnya. Benteng-benteng kecil itu kini tampak goyah. Tisu yang membalut luka Cika mulai lepas. Kapten Toni menatapnya dari pojok, tak berkata apa-apa. Hana dan Ara membisu.

“Jangan, Amir! Kamu gak akan bisa lawan mereka sendirian.” Kapten Toni akhirnya angkat suara.

Amir mematung. Nafasnya sesak, dadanya naik turun. Ia menggenggam Ibu Poppy lebih erat, seperti ingin menanyakan apa yang harus dilakukan. Tapi Ibu Poppy hanya menatapnya dalam diam, matanya jatuh pada bibir Amir yang mulai pucat dan membisu. 

Kapten Toni perlahan mendekat, tubuhnya pincang, suaranya berat tapi tenang.

“Mereka gak kayak kita, Amir. Mereka gak bermain dengan aturan yang kita tahu.”

“Tapi Ibu sama Bapak bisa mati,” bisik Amir. Suaranya pecah.

Kapten Toni menunduk. Ember yang selalu ia bawa kini retak di sisinya.

“Kedua orang tuamu sudah lama mati, Amir. Sama, seperti kamu. Tapi ini bukan salah kamu, Amir.”

Amir terdiam. Di luar sana, suara tangisan perlahan melemah, digantikan keheningan yang menggantung. Hanya gemericik air dari kran yang bocor mengisi udara.

Kamar mandi kini gelap, lampunya tak lagi menyala. Markas perlahan tenggelam dalam senyap dan dingin. Amir kembali duduk di dalam bak, menarik selimut birunya sampai ke dagu. Para pengungsi merapat, satu demi satu naik ke pinggir bak. Mereka duduk mengelilinginya, diam-diam menjaganya dengan setia.

“Amir sayang Ibu sama Bapak..” bisik Amir, nyaris tak terdengar. “Amir anak yang baik kan? Amir salah apa?” Ia terdiam sejenak. “Kalau gitu..kita gak boleh nyerah. Kita gak boleh keluar dari sini. Kita harus jaga markas sampai matahari terbit! Demi ibu sama bapak. Demi kalian semua. Demi Amir.”

Cika menepuk-nepuk tangan Amir dengan telinganya yang robek.  

“Kamu anak yang berani, Amir.”

Kapten Toni berdiri tegak, bersandar pada sikunya yang lemah. 

“Dan anak yang kuat.”

Ibu Poppy menyentuh pipi Amir sekali lagi. Lembut. Hangat. Seperti embun terakhir sebelum pagi yang sunyi. 

“Dan anak yang pantas dicintai.”

Amir memejamkan mata. Di balik kelopaknya, dunia menjadi tenang. Tak ada bentakan. Tak ada bom. Hanya nafas pelan para pengungsi yang tetap setia menjaga.  

Tapi keheningan hanya berlangsung beberapa saat. Kapten Toni tiba-tiba menatap ke arah pintu.

"Mereka datang." gumamnya. “Raksasa.. Cepat bersiap!”

Amir menarik napas panjang. Di luar sana, lantai mulai bergetar kembali. Suara langkah terdengar semakin dekat. Di dalam kamar mandi, para pengungsi saling berpegangan. 

“Kita siap, Kapten!” bisik Amir. “Kita harus bertahan. Malam ini... juga setiap malam.”

Semuanya terdiam. Bunyi itu familiar. Kunci diputar dari luar. Mereka semua menatap pintu biru muda yang kini bergetar halus. Langkah kaki terdengar mendekat. Berat dan tergesa. Suara sandal yang diseret. Disusul suara napas berat yang mereka semua hafal. Raksasa datang.

“Posisi!” seru Kapten Toni.

Cika menarik garpunya ke atas. Kiki mundur dan memarkir di balik ember. Hana dan Ara saling berpegangan erat. Ibu Poppy pun tetap berjaga-jaga. Sedangkan Amir berada di belakang para boneka, tubuhnya bergetar semakin kaku. Tapi ia harus tetap tegar. Ia harus. Cahaya dari bawah pintu mulai merayap masuk. Bayangan kaki bergerak. Lalu... diam. Beberapa detik. Nafas Amir tercekat. 

Kapten Toni menggigit lidahnya dalam-dalam. Embernya nyaris terbalik. “Tahan posisi!” bisiknya tegas.

Amir menutup matanya, tangan menggenggam botol sabun sampai buku-bukunya yang biru memutih. 

“Kita semua gak takut,” katanya pelan. “Kita semua gak takut...Amir gak takut.”

Lalu...
Klik.
Gagang pintu bergerak.

Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Cahaya dari lorong menembus kegelapan ruangan sempit itu. Bau amis langsung menyambut, menusuk. Itu Ibu, matanya menyapu ruangan. Ubin yang basah, boneka-boneka yang tampak dicabik, handuk-handuk kaku menggumpal di sudut ruangan. Amir duduk terdiam di bak mandi, terbungkus selimut kesayangannya, ia menatap ibu dengan tatapan kosong. Ibu menahan nafas dan meneguk ludahnya sendiri, suasana di dalam membuat bulu kuduknya berdiri. Dengan nafas tertahan, ia menutup hidung, wajahnya meringis jijik lalu melemparkan sepiring bunga tujuh rupa ke dalam. “Biar tenang,” katanya lirih. Setelah itu, ia segera menutup pintu, membantingnya keras. BRAK!

Di luar, terdengar suara Bapak. “Buk, polisi udah nggak curiga. Mereka pikir baunya dari saluran pembuangan.” Hening sejenak. “Lagian... udah lima hari juga. Nanti kita kubur deh kalo udah jadi tulang.” Ibu membalas pelan. Rumah kembali sepi. Hanya kamar mandi yang tetap dingin, dan Amir tetap di dalam, menjaga markas bersama para pengungsi. Hebat, berhasil.

Amir tertawa pelan, senyumnya merekah di tengah gelap yang dingin. Sekali lagi, para raksasa gagal menemukannya. Misi berhasil. Markas tetap aman. Ia menoleh ke sekelilingnya, para pengungsi duduk diam, mengawasinya dengan mata penuh debu dan benang. Biasanya mereka akan bersorak, memujinya, memanggilnya pahlawan. Tapi hari ini... hanya Amir yang bersorak. Hanya Amir yang tersenyum. Dan tiba-tiba, keheningan itu terasa lebih panjang dari biasanya. Amir menatap botol sabun di genggamannya, lalu ke dinding selimut yang mulai lembab. Untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri, bukan tentang malam ini... tapi tentang esok.

“Kalau besok mereka nemu tempat ini... aku masih bisa jaga semuanya, nggak ya?”

Ia terdiam. Mungkin…Mungkin ini bukan lagi tentang bersembunyi. Selama ini ternyata bukan tentang melindungi. Mungkin, jauh di dalam sana, ia mulai berharap, bukan agar raksasa tidak datang, tapi agar seseorang…satu saja…akhirnya benar-benar melihat. Melihat semuanya. Melihatnya.

_____________TAMAT_______________
0

Post a Comment